Title        :  Pierrot Author    : Cherrysone39 Ratting    : G Genre        : AU, Sad, Angst, Romance Length        : Short Chap...

[Fanfiction] Pierrot - Chapter 2


Title        :  Pierrot

Author    : Cherrysone39

Ratting    : G

Genre        : AU, Sad, Angst, Romance

Length        : Short Chaptered

Main Cast    : Kim Taeyeon (GG), Cho Kyuhyun (SJ), Byun Baekhyun (EXO)

Support Cast      : Seo Joohyun (GG), Park Chanyeol (EXO)

Credit Poster: PENIADTS BY HTTPS://CAFEPOSTERART.WORDPRESS.COM)

Disclaimer    : Saya hanya meminjam nama tokoh yang digunakan di sini. Cerita ini milik saya, terinspirasi dari lagu Vocaloid yang dinyanyikan Hatsune Miku berjudul “Pierrot”. Maaf kalau ada kesalahan eja, tata bahasa, dan tanda baca.

P.S. Terima kasih banyak untuk  Peniadts, posternya bagus sekali ^^

_**_

Daijoubu, Daijoubu

Don’t worry if you can’t put on a good smile,
just please do not lie about it again.
It’s okay, it’s okay. You don’t have to bear it alone,
for I will cry together with you.”




                Matahari belum sempat menampakkan wujudnya ketika terdengar suara dering telepon yang bergema di seluruh penjuru rumah. Mendengar dering telepon yang seakan tak akan berhenti tanpa ditanggapi itu, seorang gadis bersurai hitam yang sedari tadi masih asyik berselancar dalam alam mimpi terpaksa membuka mata bulatnya lebar-lebar. Ia menyibak selimut bermotif bunga forget-me-not berwarna biru keunguan yang dengan setia membalut tubuh kurusnya dari dinginnya malam berhujan seperti malam ini. Baginya panggilan di dini hari adalah hal yang sangat mengganggu. Selagi beranjak dari tempat tidurnya yang nyaman, Taeyeon –gadis tadi― sempat melirik jam dinding berbentuk Keroppi, kodok hijau imut yang tergantung manis di atas pintu kamarnya. Waktu baru menunjukkan pukul 4.21. Siapa yang tega melakukan panggilan di waktu sepagi ini?

“Halo, selamat pagi. Ini kediaman keluarga Kim. Ada yang bisa saya bantu?” Ujar Taeyeon malas. Suaranya masih serak karena baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya. Padahal ia baru saja bermimpi bertemu dengan seorang Britney Spears. Catat itu, seorang Diva Internasional BRITNEY SPEARS! Benar-benar pengganggu!

“ Anneonghaseyo, Taeyeon-a. Ini Seohyun. Aku hanya ingin memastikan kau tidak lupa akan rencana kita hari ini. Ayahku tidak akan setuju jika aku pergi tanpamu. Jadi, kau akan pergi bersamaku, kan?” Jawab Seohyun sopan. Sementara Seohyun bertanya tanpa beban dari seberang sana, Taeyeon merasa jengkel setengah mati. Menelepon pagi buta hanya untuk menanyakan pertanyaan konyol yang sudah memiliki jawaban pasti? Yang benar saja!

“Aigoo, Seohyun-a! Kau meneleponku pagi buta begini hanya untuk menanyakan hal itu? Tentu saja jawabannya sudah jelas. Aku akan pergi denganmu. Kau mengganggu tidur nyenyakku saja. Untung saja telepon rumah berada sangat tepat di depan kamarku. Kalau sampai orang tuaku terbangun karena panggilan darimu, habislah aku!” Omel Taeyeon sarkastis. Kemarahannya benar-benar telah sampai ke ubun-ubun. Ia akan dengan senang hati menjawab telepon dan semua pertanyaan sahabatnya tanpa mengomel kalau ia tidak menelepon sepagi ini.

“Mi-Mianhaeyo Taeyeon-ah. Appaku menawarkan diri untuk mengantar kita berdua ke salah satu halte di Gangnam. Bukankah kita berencana untuk berangkat menggunakan bus dari sana?” Jawab Seohyun gugup. Ia tahu Taeyeon sedang marah, terdengar jelas dari nada bicaranya yang dalam dan penuh penekanan. Bodohnya lagi, ia bahkan tahu bahwa Taeyeon sangat tidak suka saat waktu tidurnya terusik. Tapi ia tidak menyangka bahwa Taeyeon masih asyik dengan dunia mimpinya, padahal sebentar lagi sudah pukul 05.00, dan Seohyun berjanji untuk menjemput Taeyeon pukul 05.05. Itu artinya, seharusnya Taeyen sudah terbangun dan mempersiapkan diri untuk liburan mereka kali ini.

“Ah, iya. Tapi maksudku, kau bisa menghubungiku lewat ponsel, bukan? Jika kau menghubungi telepon rumahku, deringnya akan terdengar sampai seantero rumah. Benar-benar mengganggu, Seohyun-a.”

“Mianhaeyo. Aku kehabisan pulsa dan menelepon ke ponsel dari telepon rumah sangat menguras biaya. Jadi aku memutuskan untuk menghubungi telepon rumahmu. Mianhaeyo.”

Taeyeon menghembuskan napasnya perlahan. Baiklah, hal semacam ini bukanlah hal yang patut untuk dipersoalkan. Seohyun hanya bermaksud baik dengan menghubnginya. Kalau tidak, belum tentu ia akan bangun tepat pada waktunya mengingat kebiasaan tidurnya yang persis seperti tupai yang sedang berhibernasi.

“Lupakan saja. Aku masih mengantuk tadi. Aku akan segera bersiap. Kau bisa menjemputku tepat pukul 05.05. Aku akan menunggumu.” Ujarnya singkat.

“Jinjja? Apa kau masih marah karena aku meneleponmu,”

“Tidak. Aku tidak marah. Salahku karena masih tertidur. Sudah, bersiaplah. Aku akan mempersiapkan makanan yang akan kita bawa nanti.” Kedua sudut bibir gadis itu tertarik membentuk senyuman lembut yang penuh kasih sayang. Seohyun adalah teman terbaiknya, dan apapun yang gadis jangkung itu lakukan ―sekalipun membuat Taeyeon kesal setengah mati― tidak mampu membuatnya menyimpan kemarahan terlalu lama. Lagipula, Seohyun akan memohon-mohon dan memelas hanya untuk menerima ucapan maaf dari Taeyeon jika gadis itu membuat sahabat mungilnya marah. Tentu saja Taeyeon tidak akan betah berlama-lama mendengar permohonan-permohonan maaf dari sahabat kecilnya itu.

“Ne, Taeyeon-a. Gomawoyo.” Pekikan riang Seohyun di seberang sana terdengar begitu nyaring di telinga Taeyeon. Tanpa sadar, ia pun ikut tersenyum. Mendengar teriakan Seohyun yang nyaring kadang menjadi penghiburan tersendiri di telinganya.

“Ne, sudah, kututup teleponnya, ya.”

“Chakkaman. Taeyeon-a, saranghae.”

Taeyeon terkikik geli sendiri. Seohyun selalu saja mengatakan hal itu. Ia sampai-sampai takut dikira sebagai penyuka sesama jenis karena kebiasaan Seohyun yang satu itu.

“ Ne, My baby Seohyun. Nado saranghae.”

-**-

Beam.. Beam…

Bunyi klakson yang nyaring lagi-lagi menggema hingga ke setiap sudut kediaman keluarga Kim. Taeyeon dengan sigap meraih tas selempang coklatnya, menyambar tas ransel berisi makanan dan pakaian untuk keperluan selama tiga hari dua malam. Tiga hari dua malam? Ya, mereka akan menghabiskan tiga hari liburan mereka dengan berkeliling ke beberapa kota. Hari pertama akan mereka habiskan di Gwacheon, menikmati makanan khas setempat dan menonton sirkus di penghujung hari. Keesokan harinya mereka akan mengunjungi Busan, ke tempat Nenek Taeyeon tinggal. Setelahnya, mereka akan berkunjung ke Daejeon sebelum kembali ke Seoul.

“Sudah siap?” Ujar Seohyun girang. Ia tersenyum lebar seraya memandangi pakaian yang dikenakan Taeyeon hari ini. Taeyeon hanya menggunakan kaus berwarna jingga dan celana jeans hitam. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda dan sepasang sepatu kets yang membungkus kedua kakinya menambah kesan kasual yang melekat pada diri Taeyeon hari itu.

“Biar kubawakan tas makanan yang kau bawa,” lanjutnya. Ia meraih tas berisi makanan yang akan mengisi perut mereka selama perjalanan singkat dari Seoul ke Gwacheon.

Kedua gadis cantik itu melangkahkan kaki mereka ke arah mobil keluarga berwarna silver yang berhenti tepat di depan pekarangan rumah Taeyeon. Ayah Seohyun telah menunggu untuk mengantarkan mereka berdua ke salah satu perhentian bus di Gangnam.

“Selamat pagi, paman.” Ujar Taeyeon sopan setalh menutup pintu mobil Seohyun. Ia menundukkan kepalanya dalam. Ayah Seohyun memang bukan orang asing dalam kehidupannya mengingat hubungan persahabatannya dan Seohyun yang sudah terhitung cukup lama.

“Aku percayakan putriku padamu Taeyeon-ssi. Kalau bukan karena ia akan pergi denganmu, aku tidak akan membiarkannya pergi tanpa pengawasanku,” jawab Ayah Seohyun ramah sambil mengemudikan kendaraan beroda empat miliknya menjauhi kediaman keluarga Kim.

“Tenang saja, paman. Seohyun akan aman bersamaku. Akan kupastikan Seohyun kembali dalam keadaan utuh tanpa cela sedikitpun.” Taeyeon terkekeh geli melihat ekspresi Seohyun yang terlihat lucu baginya. Gadis jangkung yang duduk di kursi depan itu mengerucutkan bibirnya lucu karena perbincangan antara Taeyeon dan ayahnya.

“Sudahlah, Seo. Aku akan menjagamu. Benar, kan?” Ujar Taeyeon sambil menjulurkan lehernya menatap Seohyun.

“Tapi caramu mengatakannya seakan aku tidak bisa menjaga diriku sendiri.” Desis Seohyun kesal. Hal itu justru membuat tawa Taeyeon meledak sementara ayah Seohyun hanya tersenyum tipis selagi masih fokus memperhatikan jalanan kota Seoul yang masih lengang di depannya.

“Tidak apa-apa Taeyeon-ssi. Dia memang selalu menanggapi segala sesuatu dengan berlebihan. Aigoo, apa yang salah dengan perkataan temanmu itu? Begitu saja kau sudah cemberut seperti balita berumur tiga tahun,” canda ayah Seohyun.

“Appa! Mengapa Appa tega mengejekku di depan Taeyeon?” Pekik Seohyun garang. Sementara Taeyeon yang terduduk di kursi belakang hanya tertawa-tawa sendiri melihat pertengkaran tidak masuk akal yang entah dimulai oleh siapa. Seohyun selalu saja begitu. Hal-hal yang bagi orang lain tidak perlu ditanggapi dengan serius akan dianggapnya sebagai sesuatu yang serius. Alhasil, tidak banyak orang yang mau berbicara atau bercengkrama dengannya. Sama sekali tidak menyenangkan. Taeyeon bahkan seringkali merasa bingung dengan alasannya menerima Seohyun sebagai teman dekatnya. Padahal, ia bisa saja berteman dengan orang lain yang lebih santai dan tidak seposesif gadis jangkung itu. Tapi biar bagaimanapun, rasa sayangnya pada Seohyun membuatnya seakan tidak peduli dengan tanggapan orang lain mengenai hubungan pertemanan mereka. Seohyun sudah seperti adiknya sendiri yang patut untuk ia lindungi.

Tawa itu masih memenuhi seisi mobil selama beberapa menit sampai keheningan kembali menyelimuti ketiganya. Perjalanan dari rumahnya menuju kawasan Gangnam di pagi hari mungkin menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit. Cukup lama. Sementara ia belum sarapan.

Kruyukkkk~

Sebuah suara memecah keheningan. Seohyun menoleh ke arah kursi belakang dengan tatapan mirip detektif yang sedang mengintrogasi tersangka pembunuhan. Sementara ayah Seohyun hanya bisa melihat Taeyeon yang sedang memasang ekspresi konyol melalui spion depan.

“Jangan katakan kau belum sarapan,” interogasi Seohyun dengan nada persis detektif saat sedang mengintimidasi para tersangka pembunuhan.

“Hehe, mianhae, Seo. Aku tidak sempat,”

“Kau bisa mati karena tidak sarapan!” Tegurnya dengan nada penuh penekanan. Taeyeon membulatkan matanya lebar. Mati? Astaga, ini terlalu berlebihan!

“Aku tidak akan mati hanya karena melewatkan satu kali sarapan Seohyun-a.”

“Jangan menakut-nakutinya, Seo. Taeyeon bukan anak kecil yang mdah ditaku-takuti dengan ancaman semacam itu.” Ujar ayahnya bijak.

“Appa, mengapa Appa tidak membelaku?” Rajuk Seohyun kesal. Benar-benar kekanakan.

“Appamu benar, Seo. Aku akan baik-baik saja. Lagipua aku sudah membawa bekal untuk dimakan di perjalanan,” Taeyeon merogoh tas berisi makanan yang ia bawa dan mengeluarkan sebuah kotak makan bergambar Keroro ―pemberian Seohyun dua tahun yang lalu―.

“Tadaa.. Kimbab buatan Kim Taeyeon! Kau mau?” Taeyeon menyodorkan kotak makan berisi sekitar dua puluh potong kimbab beserta sepang sumpit ke hadapan Seohyun. Seohyun tersenyum sumringah lalu melahap beberapa potong kimbab buatan sahabatnya itu.

“Hua,, enak sekali Kim Taeyeon!!” Ucap Seohyun dengan mulut penuh.

“Kau mengatakan aku akan mati jika tidak sarapan. Nyatanya kau malah berusaha menghabiskan sarapanku. Kau mau membunuhku???” Taeyeon berujar dengan raut wajah sedih yang dibuat-buat.

“M–mianhae Taeyeon-a.” Seohyun meletakkan potongan kimbab yang nyaris ia masukkan ke salam mulutnya mendengar lelucon Taeyeon.

“Aigoo, tidak perlu tegang begitu. Aku hanya bercanda. Mengapa kau selalu menanggapi segala sesuatu dengan serius. Ja, makanlah.” Taeyeon menyodorkan sepotong kimbab ke arah mulut Seohyun.

“Apa tidak apa-apa?” Seohyun berujar ragu. Sementara Tayeon hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengapa Seohyun benar-benar serius seperti ini?

“Tidak, buka mulutmu, Aaaaa” Seohyun membuka mulutnya sesuai permintaan Taeyeon. Taeyeon hanya tersenyum geli melihat ekspresi Seohyun yang begitu polos sambil memasukkan potongan kimbab itu ke dalam mulut Seohyun.

“Nah, sekarang kunyah. Aku baru akan memakan sarapanku setelah kau menghabiskan potongan kimbab yang berada di mulutmu sekarang.” Mendengar perkataan Taeyeon, Seohyun cepat-cepat mengunyah kimbab yang telah berada di mulutnya.

“Nah, begitu. Jadilah anak baik. Hehehe” Taeyeon tertawa kecil karena tindakan Seohyun yang konyol sekaligus menggelitik. Setelahnya, mereka melanjutkan perjalanan menuju Gangnam dengan diisi oleh perbincangan-perbincangan ringan yang sebenarnya sama sekali tidak penting untuk di bahas. Lagipula, satu-satunya yang menganggap serius semua perbincangan yang mereka lakukan hanya Seohyun.

Sekitar lima belas menit kemudian, mereka telah sampai di salah satu halte bus di Gangnam. Waktu menunjukkan pukul 05.37. Langit sudah mulai terang dan jantung kota Seoul itu seakan telah berdenyut kembali. Mobil-mobil yang mulai memenuhi jalan raya, para pejalan kaki yang bergegas menuju stasiun bawah tanah, dan para penumpang bus yang menunggu bus pertama pagi itu dengan wajah yang tertutup masker untuk melindungi saluran pernapasan mereka dari debu jalanan yang mungkin saja terhirup dan mengakibatkan sesak napas ringan.

Beberapa etalase toko mulai dibuka. Sebagian besar memang belum menerima pengunjung, tetapi sudah mulai membereskan barang dagangannya masing-masing. Beberapa kedai nasi dan mie hangat yang berjajar di sepanjang jalan dekat halte mulai menguarkan aroma gurih nan lezat yang mengundang setiap orang untuk mengisi penuh perut mereka yang keroncongan karena tidak terisi makanan semalaman.

Bus pertama akan datang sekitar pukul 05.50 KST. Artinya masih ada waktu sekitar dua belas menit sebelum bus itu datang. Taeyeon mengambil jaketnya yang tersimpan rapi di dalam tas. Ia ambil pula masker bergambar Pororo di bagian depan tas selempang cokelatnya. Udara masih cukup dingin pagi itu dan ia tidak ingin mengambil resiko menggigil kedinginan karena udara beku yang menerpa kulit tipisnya.

“Saya rasa Anda sudah cukup mengantarkan kami kemari, Paman. Paman bisa mempercayakan Seohyun pada saya.” Ujarnya sopan ke arah ayah Seohyun yang masih sibuk mematikan mesin mobilnya. Semantara Seohyun juga bersiap-siap menjinjing tas selempang dan ransel berisi pakaian untuk liburan mereka kali ini.

“Ya, paman sangat bergantung padamu, Taeyeon-ssi. Jaga Seohyun baik-baik. Dan Seohyun,”

“Ne, Appa?” Tukasnya cepat.

“Jaga dirimu baik-baik. Dan jaga Taeyeon. Jangan sampai kalian terpisah. Selamat bersenang senang.” Ayah Seohyun mengecup dahi putrinya lembut. Ia menatap Taeyeon sekali lagi sebagai wujud permohonannya agar Taeyeon mejaga Seohyun dengan baik. Taeyeon hanya membalas tatapan ayah Seohyun dengan menunduk dalam. Keduanya turun dari mobil lalu melambai kepada mobil ayah Seohyun sebelum mobil yang dikendarainya melaju di jalanan distrik Gangnam yang mulai ramai dijejali para pekerja yang buru-buru berangkat ke tempat mereka mencari sesuap nasi.

“Baiklah, aku rasa ada baiknya kita menunggu di sini, Seo.” Taeyeon menunjuk salah satu kursi panjang yang hanya ditempati oleh seorang pria paruh baya. Pria itu mempersilakan Seohyun dan Taeyeon menempati ruang di sebelah kirinya.

Sementara menunggu, Taeyeon menatap jalan raya pagi itu dan melayang-layang dalam dunianya sendiri. Akhir-akhir ini ia memang lebih sering melamun. Ia agak terkejut ketika Seohyun meletakkan kepala di bahunya. Ia menatap sekilas wajah Seohyun yang menutup matanya ―beristirahat selama menunggu bus datang― dan memposisikan kepalanya senyaman mungkin di bahu Taeyeon.

Lagi-lagi Taeyeon mengalihkan pandangannya ke arah gedung-gedung pencakar langit di hadapannya. Mega kemerahan mengintip malu-malu di antara puluhan gedung tinggi yang berjejalan di sepanjang jalan. Di sebelah kiri ia dapat melihat hiruk-pikuk jalan raya kota. Perempatan jalan ramai oleh suara klakson mobil yang saling bersahutan karena lampu merah yang baru saja berganti warna menjadi hijau. Papan LCD besar di salah satu gedung di persimpangan jalan itu menampakkan waktu saat itu : 05.47 KST. Ada beberapa pekerja kantoran yang masih mengenakan pakaian tebal dan mantel dengan sepatu kets yang membungkus kaki-kaki mereka. Berjalan menggunakan seatu berhak tinggi di pagi hari benar-benar menyita waktu dan sama sekali tidak efisien sehingga mereka lebih memilih untuk mengganti sepatu mereka begitu tiba di kantor. Beberapa orang memasuki kedai-kedai makanan dan restoran cepat saji untuk mengisi ulang tenaga mereka. Beberapa orang bahkan terlalu terburu-buru hingga terpaksa memakan hamburger atau sandwich menggunakan tangan kanan sementara tangan kiri mereka sibuk menjinjing tas kantor.

Waktu tidak dapat diputar kembali…

Kalau saja Taeyeon bisa mengulang waktu, ia tidak mungkin berada di sini.

Lagi-lagi gadis itu menolehkan wajahnya ke arah Seohyun yang masih betah meletakkan kepalanya di bahu Taeyeon. Taeyeon memandangi wajah gadis itu dengan hati-hati. Tangan kanannya terangkat. Tanpa ragu ia mengusap pipi kiri Seohyun yang memerah karena udara dingin pagi itu.

‘Kalau saja semua itu tidak pernah terjadi, kita tidak mungkin bisa sedekat ini’

Ia selalu memikirkan hal yang sama. Seakan ingatannya hanya sampai di situ saja. Tubuh dan hidupya memang terus bergerak seiring berjalannya waktu, tapi tidak dengan jiwanya. Ia terlampau menyayangi orang-orang di sekitarnya hingga tidak peduli akan perasaannya sendiri. Ia berusaha mengubur memori pahitnya di masa lalu sementara pikirannya sendiri masih terjebak di dalamnya.

‘Hidup harus terus berjalan, dan aku harus terus melangkah.’

Seohyun mengerjap-ngerjapkan matanya. Kedua matanya merah karena ia sempat tertidur selama beberapa menit sebelumnya. Matanya teralihkan pada wajah Taeyeon yang masih dengan tenang menatap sambil mengusap pipi tembamnya.

“Apa aku mengganggumu?” Bisik Taeyeon lembut Bibirnya memunculkan sebentuk senyuman tipis sementara Seohyun hanya menganggukkan kepalanya pelan dengan ekspresi polos yang tergambar jelas di matanya.

“Maafkan aku, sebentar lagi pukul 05.50. Bus akan segera datang. Aku rasa ada baiknya kita bersiap-siap.” Tambahnya lagi.

Seohyun menegakkan tubuhnya. Ia merenggangkan kedua kaki dan tangannya sejenak sebelum meraih tas selempang dan ransel biru toska favoritnya. Benar saja, baru beberapa detik yang lalu Seohyun dan Taeyeon bersiap-siap, bus jurusan Gangnam-Gwacheon berhenti di hadapan mereka. Para penumpang bus yang telah menunggu sejak pagi dengan sigap berjejalan memasuki bus. Taeyeon mendekatkan kartu all-in-onenya di detektor yang terletak tepat di sebelah supir bus. Ia memindai kartu itu sebanyak dua kali ―untuknya dan Seohyun―, lalu memilih tempat duduk di barisan keempat sebelah kiri. Taeyeon mengambil tempat di dekat jendela dan Seohyun duduk di sampingnya.

Untuk kesekian kalinya, Taeyeon memandang ke arah jalan raya melalui jendela di sampingnya. Pandangannya kembali menerawang entah ke mana sementara Seohyun kembali meletakkan kepalanya di bahu Taeyeon dan jatuh tertidur.

Langit yang sudah mulai terang mendadak terselimuti awan. Awan kelabu tergantung di setiap sisi langit, menimbulkan kesan suram yang tadi telah tergantikan oleh cahaya ceria sang penguasa langit. Beberapa pejalan kaki melangkahkan kakinya lebih cepat untuk meghindari tangisan langit pagi itu. Payung berwarna-warni terkembang di setiap sudut jalan. Beberapa orang cepat-cepat berteduh di halte bus terdekat, depan etalase toko, dan sebagian lainnya berlari-lari kecil menuju stasiun bawah tanah untuk berlindung sekaligus mempercepat waktu mereka mencapai tujuan.

Seharusnya hari ini sang surya akan bersinar terang, tapi tampaknya semua tidak berjalan sesuai dengan rencana.

Taeyeon mendesah pelan. Uap dari napasnya memburamkan kaca jendela bus yang sedari tadi menopang dahinya. Ia bahagia, dengan semuanya. Dengan kehidupannya sekarang, dengan sahabat baiknya yang begitu perhatian, dengan kedua orang tuanya yang begitu menyayanginya.

Kecuali fakta bahwa ia tidak memiliki hak penuh atas hidup dan kehidupannya.

-**-

Perjalanan dari Gangnam ke Gwacheon menyita waktu sekitar tiga puluh sampai empat puluh lima menit. Perjalanan yang cukup tidak memakan waktu namun lumayan panjang untuk mengistirahatkan diri sebelum perjalanan liburan tiga hari dua malam mereka. Taeyeon menyandarkan kepalanya di jendela. Kebiasaan tidurnya yang memerlukan ‘jam weker khusus’ membuatnya tidak menyadari bila sedari tadi Seohyun telah mati-matian membangunkannya. Mereka sudah berhenti di stasiun Gwacheon sekitar dua menit yang lalu dan Taeyeon tampaknya masih asyik dengan alam mimpinya. Hal ini terbukti dari tetesan-tetesan air liur yang mengalir dari sudut kiri bibirnya yang terbuka.

“Taeyeon. Taeeyeeooonnnn.. Ayo bangun, kita sudah sampai. Taengg!!” Seohyun menggoyang-goyangkan tubuh Taeyeon dengan tidak sabaran. Pasalnya, sudah sejak sembilan menit yang lalu Seohyun mencoba membangunkan sahabat mungilnya it tapi semua usahanya seakan sia-sia. Taeyeon tetap saja masih bergelung dibalik jaket tebal dan tas tansel yang ia peluk dengan nyamannya.

“Aigoo, Taeyeon! Cepatlah bangun! Bus ini akan pergi sebentar lagi! Taeng!” Seohyun menggeram frustrasi melihat Taeyeon yang bahkan tidak menggerakkan sedikit pun tubuhnya. Beberapa detik ia berhenti bicara dan memikirkan cara terbaik untuk membangunkan Taeyeon. Senyuman terkembang di wajah cantiknya ketika sebersit ide terlintas dalam pikirannya.

Seohyun mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Taeyeon. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh udara dalam rongga pernapasannya di kedua paru-parunya. Dengan tenaga penuh Seohyun meniup telinga kanan Taeyeon kuat-kuat sehingga sang empunya telinga terbangun. Karena terlalu terkejut Taeyeon terlonjak dari tempat duduknya dan membentur hidung Seohyun yang berada sangat dekat dengannya.

“Argh, Taeng! Sudah sulit dibangunkan, kau malah menyakiti hidungku.” Seohyun menggosok-gosok hidungnya sementara Taeyeon mengusap kasar telinganya yang ditiup oleh Seohyun.

“Lagipula mengapa membangunkanku dengan meniup telingaku? Astaga, bangunkan aku dengan cara yang biasa saja!”

“Enak saja! Aku sudah mati-matian meneriakimu, menggoyang-goyang tubuhmu teteapi kau hanya bergeming di posisimu semula!”
Dan lagi-lagi, keributan yang sama sekali tidak penting tercipta di antara keduanya.

-**-

Hari menjelang siang. Setelah keributan kecil tadi pagi, Seohyun dan Taeyeon melanjutkan perjalanan mereka menjelajahi jalanan daerah Gwacheon di pagi hari. Jalanan Gwacheon tidak selebar dan seramai Seoul dan menikmati jalan-jalan pagi di tempat ini terasa sangat menyejukkan. Udara hangat yang mulai berembus seiring naiknya sang surya ke singgasananya menyingkirkan seikit demi sedikit udara beku yang bertiap di pagi hari.

Waktu nyaris menunjukkan pukul sebelas siang. Taeyeon dan Seohyun akhirnya memutuskan untuk menyewa kamar di sebuah penginapan sederhana dekat kawasan festival yang juga merupakan tempat pertunjukan sirkus itu diadakan. Hanya ada dua belas kamar di penginapan itu. Dengan harga yang murah, hanya ₩9000 per malam, setidaknya Seohyun dan Taeyeon dapat meletakkan barang-barang mereka sehingga mempermudah acara liburan mereka di daerah kecil itu.

“Seo, aku akan ke toilet. Ah ya, kau bisa memakan beberapa potong kimbab dan ddeokbokgi dalam tas.” Kata Taeyeon sebelum akhirnya beranjak ke dalam kamar mandi.

Seohyun meletakkan kepalanya di atas bantal. Ia agak mengantuk kali ini. Perjalanan dari stasiun ke lokasi festival memang cukup dekat sehingga mereka berdua memutuskan untuk berjalan kaki. Udara sejuk daerah itu yang belum sepenuhnya teracuni polusi seperti Seoul juga menjadi salah satu faktor mereka memilih untuk berjalan kaki. Sayang rasanya apabila harus menghabiskan banyak waktu dalam kendaraan bermotor yang bising dan membuat kepala berdenyut.

Seohyun mengalihkan pandanganya ke arah nakas yang terletak di sisi kanan tempat tiur ukuran double yang sedang ia tempati. Ponsel Taeyeon bergetar.

Sebuah pesan masuk.

Dengan sigap Seohyun beranjak dari tempat tidurnya hendak mengecek ponsel Taeyeon. Dirinya penasaran akan seseorang yang mengirim persan pada sahabatnya itu. Jika sebagian orang menganggap hal itu sebagai hal yang benar-benar tidak sopan, tidak bagi kedua sahabat itu. Mereka berbagi segala hal, sehingga tidak masalah jika Seohyun membaca pesan yang masuk ke nomor Taeyeon, begitupun sebaliknya.

Ekspresi penasaran yang Seohyun tunjukkan seketika lenyap, tergantikan senyum meremehkan yang ia tujukan pada sang pengirim pesan. Ia membuka pesan itu. Wajah semakin menunjukkan ekspresi tidak senang dan merendahkan.

From: Baekhyun

Aku akan mengadakan pesta di rumahku hari ini. Kau harus datang sebagai tunanganku. Jika tidak, kau tahu akibatnya. Lagipula, aku tidak menerima penolakan.

Seohyun mengetuk perintah “hapus” di sisi kiri bawah layar.

“Tidak ada yang boleh mengganggu liburanku,”

Seohyun menyeringai,

“Especially you, bastard.”

.

.

.

.

.

TBC

Mianhabnida karena baru bisa update sekarang. Tugas yang menumpuk dan waku tidur yang agak menipis membuat saya lebih memilih untuk tidur daripada menulis. Maaf sekali lagi.. Saya masih penulis amatiran yang kurang bisa membagi waktu. Maaf..

Oh ya, di chapter ini saya sudah mulai memunculkan konflik. Meski hanya di tiga baris terakhir. Next chapter akan menjadi bagian Baekhyun dan Chanyeol sepertinya. Hehehe. Terima kasih sekali karena ada yang bersedia membaca dan mengomentari FF ini!

Jangan lupa tinggalkan komentar. Gomapseubnida!

0 comments: