Title : Pierrot
Author : Cherrysone39
Ratting : G
Genre : AU, Sad, Angst, Romance
Length : Chaptered
Main Cast : Kim Taeyeon (GG), Cho Kyuhyun (SJ), Byun Baekhyun (EXO)
Support Cast : Seo Joohyun (GG), Park Chanyeol (EXO)
Credit Poster: PENIADTS BY HTTPS://CAFEPOSTERART.WORDPRESS.COM)
Disclaimer : Saya hanya meminjam nama tokoh yang digunakan di sini. Cerita ini milik saya, terinspirasi dari lagu Vocaloid yang dinyanyikan Hatsune Miku berjudul “Pierrot”. Maaf kalau ada kesalahan eja, tata bahasa, dan tanda baca.
P.S. Terima kasih banyak untuk Peniadts, posternya bagus sekali ^^
P.P.S. : Daijoubu (dalam bahasa Jepang) memiliki arti "Tidak apa-apa".
Daijoubu, Daijoubu
It doesn’t hurt or scratched at all
As long as you smile
Daijoubu, Daijoubu
Falling clumsily to the ground
I’m the ball riding pierrot from a small circus
—–
“Mau menonton sirkus?”
Gadis mungil yang sedari tadi fokus dengan buku bacaannya mendongak. Ia membetulkan kacamatanya yang melorot sejak tadi untuk menatap gadis lain yang sedang berdiri dengan posisi agak membungkuk di hadapannya. Masih belum menjawab pertanyaan yang tadi dilontarkan kepadanya, gadis mungil itu hanya menegakkan tubuhnya yang sedari tadi membungkuk, memperbaiki posisi duduknya yang sama sekali tidak nyaman.
“Jadi kau mau atau tidak? Aku punya dua tiket di kursi paling depan.” Ujar Seohyun –nama gadis yang menawarkan tiket itu– dengan wajah sumringah.
“Di mana?” Ucap Taeyeon –gadis mungil tadi – nyaris tanpa minat, “aku ikut, tenang saja.” Tambahnya cepat-cepat, melihat perubahan di wajah Seohyun, sahabat terbaiknya itu. Mereka sudah berteman sejak duduk di bangku sekolah dasar. Dan entah karena takdir atau suatu hal yang tidak Taeyeon ketahui, mereka selalu berada di kelas yang sama, bahkan sampai saat ini, ketika mereka telah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
“Kau selalu saja begitu. Aku kan mengajakmu baik-baik. Jawabanmu selalu saja ketus.” Desis Seohyun kesal. Ia mengerucutkan bibirnya lucu, kebiasaannya saat sedang marah.
Melihat tingkah sahabatnya yang benar-benar mengganggu sekaligus menggemaskan, Taeyeon mau tidak mau menarik sudut-sudut bibirnya membentuk senyuman kecil.
“Setelah membuatku kesal, sekarang kamu mau menertawakanku? Kejam sekali kau, Taeyeon!” Pekik Seohyun garang. Tangannya mulai memukul-mukul Taeyeon secara membabi buta membuat Taeyeon terkikik-kikik geli karena tingkah Seohyun. “Selalu saja begitu,”pikirnya.
“Ne, ne, mianhae,” Taeyeon menahan pergelangan tangan Seohyun yang masih terus berusaha memukulinya, “tidak biasanya kamu mau pergi ke sirkus,” lanjutnya.
Beberapa detik kemudian, Seohyun menghentikan aksi memukulnya. Wajahnya mendadak sumringah, membuat Taeyeon memutar kedua bola matanya.
“Ya, tidak ada sesuatu yang aneh sebenarnya. Hanya ingin saja. Lagipula, bukankah menghabiskan waktu di kafe atau mal benar-benar membosankan. Lagipula perpustakaan kota akan tutup selama seminggu, entah kenapa. Benar- benar membosankan. Jadi, ayo kita pergi ke sirkus!” Pekik Seohyun gembira. Seohyun dan Taeyeon bisa dikatakan sebagai sahabat yang sangat cocok dan saing mengisi. Dibanding menghabiskan waktu di mal atau tempat-tempat hangout yang biasa teman-teman seusia merea kunjungi, mereka lebih senang menghabiskan waktu di tempat-tempat yang tidak biasa. Satu-satunya tempat yang biasa mereka kunjungi untuk mengisi waktu senggang adalah perpustakaan kota. Kadang mereka pergi ke Jeonju untuk bermain di sawah, berjalan kaki di sekitar kompleks perumahan di Cheonan hanya untuk menekan bel rumah tetangga dan melarikan diri ketika sang pemilik rumah keluar, atau memungut sampah di sepanjang pesisir pantai Haeundae. Pokoknya, hal-hal aneh yang kadang tidak masuk akal selalu masuk dalam daftar aktifitas yang akan mereka lakukan selama waktu senggang. Dan tentu saja, mereka sangat menikmatinya. Bahkan bisa dikatakan, menonton sirkus adalah hal paling normal –setelah menghabiskan waktu seharian di perpustakaan kota–yang pernah mereka lakukan untuk mengisi waktu luang.
Lagi-lagi Taeyeon terkikik geli. Dilepaskannya kaca mata yang sedari tadi bertengger di hidungnya. Taeyeon beranjak menuju tempat peminjaman buku yang terletak di sudut ruangan, lebih tepatnya dekat dengan pintu masuk dengan membawa lima buah buku tebal yang akan mengisi waktu kosongnya beberapa hari ke depan. Terlebih mengingat perkataan Seohyun bahwa perpustakaan akan ditutup selama seminggu. Benar-benar menyebalkan.
“Oh ya, Tae. Kau tahu di mana tempat sirkusnya tidak? Aku bahan belum memberitahukannya kepadamu.” Seohyun berlari-lari kecil mengikuti langah kaki Taeyeon yang tenang. Sepertinya Seohyun benar-benar bersemangat dalam hal ini.
Taeyeon menggeleng pelan, menoleh ke arah Seohyun, sementara tangannya masih disibukkan dengan lima buah buku yang ia pinjam, “Tidak, ah aku lupa bertanya. Memangnya di mana?” sahutnya dengan mata membulat hingga membuat Seohyun gemas untuk mencubit pipinya.
“Hehehe, mian, aku lupa. Gwacheon. Kita bisa naik bus dari Gangnam ke jurusan Seocho. Lalu naik bus lagi ke Gwacheon. Atau kau mau aku meminta tolong pada Appa untuk mengantar kita?” Tanya Seohyun pelan, sementara yang ditanya masih memperhatikan buku-buku yang akan dipinjamnya. Satu persatu buku itu di cap. Taeyeon menyerahkan kartu peminjamnya untuk dipindai.
“Semua buku telah diperiksa. Silakan kembali lagi,” kata penjaga perpustakaan ramah. Setelah memastikan semua buku yang ingin Taeyon pinjam berada di tangannya, barulah gadis itu menoleh ke arah Seohyun.
“Ya, kalau menurutku akan lebih baik kalau kita naik bus. Rasanya tidak nyaman jika harus merepotkan orangtuamu.” Taeyeon berujar pelan. Ia menyunggingkan senyum lembut yang membuat kecantikan gadis itu berlipat ganda.
Kedua gadis itu melangkah ke arah trotoar dengan langkah ringan. Mereka bercanda dan ertawa bersama. Khas gadis remaja.
-**-
Berkali-kali ia terjatuh dari bola yang dinaikinya. Jika ada yang mengira bahwa kejatuhannya akibat badut itu kurang andal dalam menyeimbangkan berat tubuhnya di atas bola, maka dugaan itu salah besar. Nyatanya, ia memang sengaja menjatuhkan diri dari atas bola sebagai bagian dari pertunjukan.
“Kau terlihat menyedihkan, tahu? Cara jatuhmu benar-benar tampak tidak nyata. Kau sengaja meletakkan kakimu terlebih dahulu. Orang-orang akan menebak tindakanmu dengan mudah. Buat seakan-akan kau benar-benar tergelincir, arraseo? Cepat berlatih lagi!” Bentak seorang pria berwajah garang. Sebagai pengatur pertunjukan sirkus kali ini, ia merasa berhak untuk mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk memberikan pertunjukkan yang terbaik. Pertunjukan sirkus yang diadakan selama satu bulan penuh di kota Gwacheon ini memang merupakan tur terbesar yang pernah di selenggarakan oleh Twinkle Circus. Dan hal yang paling membuatnya sakit kepala adalah kehadiran banyak pekerja magang di sirkusnya. Badut-badut baru yang masih amatir dalam menyajikan atraksi-atraksi lucu yang menggelitik, para akrobatik yang belum mampu bekerja sama dengan para partner mereka dalam berayun di tali, dan masalah-masalah lain yang cukup mengganggu. Hal ini benar-benar merepotkan. Dan badut yang ada di hadapannya adalah salah satu anak baru yang mau tak mau memaksanya terus-menerus berteriak sepanjang hari.
Memang, kemampuan badut ini dalam hal berjalan di atas bola, mengendarai sepeda dengan satu roda, melempar beberapa bola, bahkan melakukan berbagai trik sulap yang menghibur tidak diragukan. Hanya saja, semua kemampuan yang ia miiliki tidak lantas membuatnya dapat memicu gelak tawa di kalangan penonton. Sebagai badut, seharusnya ia mampu menyajikan pertunjukkan yang mampu mengocok perut para penonton. Tapi ia tidak bisa. Ah, lebih tepatnya belum mahir. Sehingga Pak Han –panggilan pria berwajah garang tadi –harus mati-matian mengajarinya berbagai hal yang memicu gelak tawa penonton. Misalnya saja, terjatuh dari atas bola, menabrak tiang saat sedang mengendarai sepeda roda satunya, kejatuhan bola-bola yang sedang ia lempar, dan hal-hal lucu lainnya yang bersifat menghibur. Hanya saja, badut yang satu ini terlalu takut jatuh atau terluka –sekalipun tenaga medis telah dipersiapkan dengan sebaik mungkin dan para profesional dapat membuat pertunjukan lucu tanpa melukai diri mereka sendiri –dan hal itu benar-benar menyusahkan.
Untuk kesekian kalinya, sang badut berdiri di atas bola kuningnya. Tubuhnya mulai berkeringat karena pakaian berlapis yang ia kenakan. Keringat dingin juga muli membasahi tangannya. Ia takut, tapi ia tidak memiliki pilihan lain yang dapat ia lakukan selain melakukan perintah atasannya. Upah yang dapat ia kantongi hanya dengan menjadi badut sirkus selama satu bulan adalah satu juta won. Belum lagi upah tambahan yang dapat ia peroleh jika jumlah penonton melebihi target. Dibandingkan pekerjaan lamanya sebagai badut keliling dan berjualan penganan tradisional di sekitar pinggiran kota Gwacheon –dengan penghasilan yang tidak seberapa– membuatnya lebih memilih untuk terjatuh berkali-kali dalam sehari daripada dipecat dari pekerjaannya sekarang. Biasanya, mendapat lima ratus ribu won dalam satu bulan saja sudah membuatnya melonjak gembira. Apalagi satu juta won? Bukankah ia sangat beruntung?
Tanpa sadar ia melamun, memikirkan nasibnya yang menyedihkan dan cara-cara yang dapat ia lakukan agar tidak dikeluarkan dari pekerjaanya sekarang. Karena terlalu banyak berpikir dan tidak berkonsetrasi, kakinya memijak bagian yang salah. Tumitnya tidak benar-benar memijak bagian atas bola sehingga ia tergelincir.
Rasanya kejadian itu terjadi begitu cepat. Matanya menangkap siluet langit-langit tenda sirkus yang berwarna merah dan kuning dengan pola garis-garis. Kakinya tak sempat memijak tanah ketika bola itu menggelinding ke depan sehingga ia terjatuh dengan posisi tangan tertekuk. Tulang punggungnya membentur lantai dengan cukup keras. Tulang ekornya terasa ngilu. Belum lagi tangannya yang tertekuk juga turut membentur lantai. Benar-benar mimpi buruk.
Di tengah pandangannya yang samar-samar di balik topeng pucatnya, dapat ia lihat ekspresi Pak Han. Wajahnya menyeringai samar, dan terdengar gumaman bernada puas yang tentu saja ditujukan kepadanya.
“Kerja bagus, Cho Kyuhyun.”
-**-
“Party?”
“Hahaha, of course. At my place, tomorrow.”
“Aku kira kau akan bertobat setelah mendapatkan gadis itu. Kau masih saja sama.” Seorang pria berperawakan tinggi berbalut setelan Armani menyikut pundak temannya disertai tawa renyah yang meluncur begitu saja dari mulutnya.
“Tidak ada yang bisa mengubah kebiasaanku, Chanyeol-ya. Bahkan eommaku pun tidak. Apa yang kau harapkan dari gadis ingusan itu? Benar-benar lucu.” Pria lainnya hanya membalas sekenanya. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas, memunculkan seringaian yang sebenarnya sama sekali tidak cocok dengan wajahnya yang manis dan tampak polos. Berbeda dengan pria jangkung yang memakai setelah Armani sehingga menonjolkan kharisma dan wajah tampan yang memakainya, pria ini lebih memilih pakaian kasual sebagai penutup tubuhnya. Ia mengenakan kaus berwarna biru langit dan celana jeans berwarna biru gelap. Di pergelangan tangan kanannya melingkar jam tangan Rolex limited edition dan gelang rantai berwarna hitam. Sepatu Converse hitam dengan tali berwarna abu-abu semakin menyempurnakann penampilannya yang cool dan sporty.
Chanyeol meneguk jus jeruk botolan yang sedari tadi digenggamnya. Cuaca agak dingin malam itu, meski musim panas baru saja dimulai.
Sementara pria yang merupakan sahabat baik Chanyeol itu meminum Americano dingin yang ia pesan sebelum Chanyeol –teman kesayangannya yang begitu serius bekerja itu –datang.
Tentu saja kedua orang itu bagai langit dan bumi dari segi kepribadian. Memang tidak diragukan lagi bahwa dua orang sahabat itu memiliki paras tampan dan kekayaan melimpah. Hanya saja perbedaanya, Chanyeol sempat mengalami masa-masa pahit saat kanak-kanak. Chanyeol tidak lahir dalam keluarga dengan kondisi perekonomian yang mapan. Saat itu ayahnya hanyalah pegawai kantor biasa. Ia menghabiskan sepuluh tahun hidupnya dengan kehidupan yang sederhana di Daejeon. Ia belajar mati-matian demi mendapat beasiswa untuk membiayai sekolahnya. Ia sangat ingin bersekolah di kota besar seperti Seoul, tapi hal itu terasa sulit mengingat kondisi keluarganya. Tanpa ia duga, ayahnya dipromosikan dan dipindahtugaskan sebagai manajer pabrik roti di Seoul. Mimpinya seakan menjadi kenyataan. Sehingga, sekalipun sekarang, di usia yang ke 25 tahun, ia sudah mampu membiayai dirinya sendiri sebagai salah satu manajer marketing majalah Marie Claire Korea yang terkenal.
Berbeda dengan jalan hidup Chanyeol yang berliku dan penuh perjuangan demi mencapai cita-citanya menjadi seorang marketing, Byun Baekhyun, pria yang berpakaian kasual tadi terlahir bak putra raja. Ayahnya meninggalkan Baekhyun dan ibunya ketika ia baru berusia dua belas tahun. Ibunya yang merupakan seorang wirausahawati merasa tidak sebanding dengan suaminya yang hanya seorang pekerja kantoran. Pada awalnya ia menikah dengan mantan suaminya karena telah mengandung Baekhyun selama empat bulan. Tak mau menjadi aib keluarga, ayah Baekhyun melamarnya dan jadilah mereka menikah. Pada awal pernikahan mereka, ibu Baekhyun dapat menerima pekerjaan suaminya yang hanyanya seorang pekerja kantoran. Tapi semakin lama ia merasa malu. Terlebih ia adalah seorang anak tunggal yang berhak mewarisi pabrik roti milik ayahnya. Pada akhirnya, setelah mati-matian mempertahankan pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan itu selama lebih dari sebelas tahun, mereka memutuskan untuk berpisah.
Kesibukan ibu Baekhyun membuatnya terpaksa menyerahkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan Baekhyun kepada seorang pengasuh. Apapun yang Baekhyun inginkan pasti akan dituruti. Meskipun begitu, perasaan sakit hati yang terpendam dalam hati Baekhyun setelah perceraian kedua orang tuanya membuat Baekhyun kecil berubah hampir seratus delapan puluh derajat. Baekhyun yang manis, baik hati, dan penurut berubah menjadi Baekhyun yang kasar, dingin, dan semena-mena. Hasratnya untuk membalas dendam membuatnya menjadi sangat kejam kepada siapapun, terutama wanita. Setiap kali mengingat eommanya yang dengan tega mencampakkan appanya hanya karena perbedaan status sosial dan penghasilan. Ia bahkan tega “membeli” seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Karena baginya, perempuan tidak lebih berharga daripada uang.
-**-
Taeyeon menjulurkan kepalanya keluar dari selimut tebal bermotif bunga ungu kecil, warna yang sangat ia senangi. Ia melirik ke atas nakas di sebelah kanan tempat tidurnya. Jam beker berbentuk Teddy Bear pemberian Seohyun di ulang tahunnya yang ke sembilan belas tiga tahun yang lalu memang selalu menemani hari-harinya yang kadang membosankan.
‘Wake up and hug me! Wake up and hug me! Wake up and hug me!’
Taeyeon terkekeh mendengar bunyi alarmnya yang menurutnya benar-benar menggemaskan. Taeyeon tahu, Seohyun memang menyukai hal-hal yang sangat manis dan imut. Mungkin kepribadian uniknya itu pula yang mendorong Seohyun untuk menghadiahkan jam beker semacam ini untuk Taeyeon. Sedangkan Taeyeon? Yah, tentu saja ia menerima hadiah itu dengan senang hati. Pertama, karena kebiasaan bangun siangnya yang sangat merepotkan, kedua, karena ia sangat menyukai Teddy Bear –meski ia berharap akan ada jam beker berbentuk dookong –dan yang terakhir, siapa yang tidak terbangun dengan bunyi alarm yang benar-benar imut itu? Astaga, kenapa Seohyun sangat pintar dalam memilihkan hadiah yang manis-manis untuknya? Sedangkan ia? Taeyeon bahkan pernah memberikan Seohyun sekotak pulpen berisi lima puluh batang pulpen bergambar Keroro lima warna. Ada sepuluh batang pulpen dengan warna yang sama. Ada warna merah muda, biru muda, hijau muda, kuning, dan ungu.
Mungkin bagi orang lain hadiah itu benar-benar konyol. Memang berguna, tapi konyol. Untuk apa menghadiahkan lima puluh batang pulpen di hari ulang tahun seorang gadis berusia dua puluh tahun? Mungkin boneka atau hal-hal manis lainnya dapat diterima, tapi tidak dengan pulpen, satu kotak pula!
Ia ingat betul hari itu, Ketika Seohyun dengan semangat membuka hadiah dari Taeyeon. Taeyeon bahkan hanya berdiri terpaku saat Seohyun memeluknya dan mengatakan bahwa hadiahnya sangat bagus, sementara teman-temannya yang lain terkikik-kikik geli, bahkan ada yang secara terang-terangan tertawa tanpa peduli akan perasaan Taeyeon kalau sampai ia merasa terhina –meski ia tidak merasa malu sama sekali karena ia memilihkan hadiah itu sepenuh hati. Bahkan sejak saat itu Seohyun selalu memakai pulpen-pulpen hadiah ulang tahun dari Taeyeon. Tentu saja hal itu membuat Taeyeon merasa senang dan dihargai. Dan di antara mereka tidak ada yang peduli dengan pendapat orang lain tentang keanehan dalam persahabatan mereka. Toh, tidak selamanya persahabatan diawali dengan sesuatu yang sama. Mungkin hal itu perlu dipertimbangkan dalam pernikahan. Tapi persahabatan? Ah, entahlah. Ia malas berpikir sekarang.
.
.
.
.
.
TBC
Lalu, cerita ini saya buat berkat kecintaan saya pada Vocaloid, karena pengaruh adik kelas saya yang merupakan pecinta vocaloid. Apa ada juga yang suka Vocaloid di sini? Bagi yang ingin mendengar lagu Hatsune Miku – Pierrot, lagu itu benar-benar bagus dan menyentuh. Saya sangat merekomendasikannya.
Sampai bertemu di seri berikutnya!
0 comments: