Oleh: Megumi Cheiri
Seharusnya asrama menjadi tempat berkumpulnya
orang-orang dari keluarga baik-baik dan memperoleh didikan yang baik juga.
Setidaknya mereka masih tahu aturan dan hati nurani, kalaupun tidak benar-benar
baik. Tidak pernah sekalipun aku menyangka akan ada hal-hal semacam pencurian
di dalam asrama. Persis seperti kejadian akhir-akhir ini.
Aku bahkan
sama sekali tidak percaya ia akan menipuku seperti ini. Entah aku yang terlalu
naif atau malah bodoh, aku tidak menyangka aku telah mempercayai orang yang
salah. Benar-benar salah. Aku tahu, aku harus mati-matian belajar untuk
mengejar materi. Tapi sekali lagi aku tekankan, aku benar-benar merasa bodoh
karena bisa-bisanya ditipu.
Seperti malam-malam sebelumnya, kami menghabiskan
waktu makan malam diselingi candaan ringan. Beberapa senior berkelakar hingga
memecah tawa di seluruh penjuru ruangan. Aku tertawa meski hatiku tidak ikut
tertawa.
Telingaku berdengung. Aku tahu seseorang –atau
bahkan banyak orang- sedang membicarakanku. Lebih tepatnya, yang sedang
dibicarakan adalah orang yang telah menipuku habis-habisan. Aku menatap
wajahnya dari samping. Aku sungguh berharap ia tidak sadar sedang diperhatikan
karena aku sendiri tidak mampu menghitung jumlah pasang mata yang memicing atau
meliriknya diam-diam selain aku. Mereka menatapnya dengan pandangan tak percaya
atau bibir yang mencibir.
Ah, aku tidak peduli.
Ia telah mengkhianatiku. Teman yang aku anggap
paling dekat denganku, yang paling aku percaya justru menikamku dari belakang.
Rasa sakitnya menjalar bak ditikam beribu sembilu hingga menembus dadaku. Sakit
sekali.
“Keterlaluan sekali. Dia benar-benar tidak punya
perasaan ya! Beraninya menipu orang baik seperti Meita!” Terdengar sebuah
bisikan dari belakang punggungku. Benar, bukan? Berita semacam ini akan
menyebar dengan sangat cepat seperti wabah flu di sebuah kelas berpendingin
tanpa ventilasi.
Aku mengatupkan mataku rapat-rapat. Masa bodoh kalau
ada yang menangkap gelagat tidak biasa dari ekspresiku. Aku sudah cukup sakit
menahan semua ini sendirian. Aku membuka mataku setelah beberapa detik.
Beberapa kawanku berusaha bersikap biasa di depanku. Berusaha tidak tampak
terlalu bersimpati karena ini masih jam makan malam. Sekalipun mereka tahu,
akan sangat gawat kalau mereka tertangkap basah sedang menghiburku. Masalah
akan semakin rumit
dan berita akan lebih cepat menyebar. Lebih parahnya lagi Suster akan tahu. Dan hal itu akan
sangat menakutkan.
Setelah jam makan malam usai, aku kembali ke ruang
belajar. Sofia yang duduk di sebelah kiriku tampak bersikap biasa. Apa ia tidak
tahu? Ia tidak menunjukkan gelagat seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi memang
dari yang aku ketahui sejak tinggal di tempat ini satu tahun yang lalu, ia
bukan tipikal orang yang suka bergosip dan sangat ketinggalan informasi. Ia
selalu tenggelam dalam dunianya sendiri. Sering berada di kamar sepulang
sekolah dan tidur di waktu senggang. Jadi, sepertinya ia benar-benar belum tahu.
Lagi-lagi telingaku berdengung. Aku tahu seseorang
sedang membicarakan masalah yang aku alami. Ingin aku menutup telingaku
rapat-rapat. Memikirkannya lagi membuatku merasa sakit. Tapi di lain pihak aku
ingin ia merasakan ganjaran akibat perbuatannya. Aku bingung setengah mati. Jalan mana yang
harus aku pilih?
Baiklah, aku akan menceritakan masalah awalnya.
Aku sangat dekat dengan salah satu penghuni asrama
ini. Namanya Vana. Aku benar-benar mempercayainya. Aku menganggap ia teman yang
baik karena kami sama-sama berasal dari Nusa Tenggara –meski ia dari Kupang dan
aku dari Flores. Intinya, aku percaya padanya. Bahkan terlalu mempercayainya.
Karena kenaifanku, aku mempercayakan salah satu
informasi yang seharusnya bersifat pribadi dan rahasia. Nomor pin rekening
bankku. Aku pikir ia tidak akan melakukan hal yang aneh, apalagi mencuri karena
selama beberapa bulan aku mempercayakan pinku padanya untuk mengambilkan uang
selama aku mengikuti semester pendek, jumlah uang di rekeningku masih
wajar-wajar saja.
“Astaga, Meita, kemarin aku melihat sepatu Adidas
keluar terbaru. Warnanya biru, bagus sekali!” Seru Vana antusias di suatu sore. Ah, aku ingat ia
mengakses situs resmi Adidas semalam, saat jam belajar. Ia melihat-lihat
katalog dan terus menerus berdecak kagum melihat sepatu-sepatu keluaran
terbaru.
Aku hanya mengangguk mengiyakan ceritanya. Ia terus
berceloteh tentang harga sepasang sepatu yang menurutku terlampau fantastis. Ia
mengatakan bahwa harga sepatu itu senilai lebih dari satu juta rupiah.
Benar-benar tidak masuk akal!
“Aku juga melihat tas kemarin. Warnanya kuning emas
dengan motif hitam. Astaga, Meita! Ingin sekali aku membelinya! Dan oh ya, aku
juga menelepon ayahku kemarin untuk mengganti telepon genggam bututku yang
sudah ketinggalan jaman itu. Awas saja kalau Ayah tidak segera menggantinya!
Benar-benar pelit dan menyebalkan!” Gerutunya berapi-api. Aku hanya terdiam
mendengarkan ceritanya. Mendengarnya menghina telepon genggam Blackberry yang
ia miliki sementara aku yang hanya memiliki telepon genggam Samsung keluaran
lama dengan 12 tombol yang bahkan tidak berwarna dan bisa dikatakan jauh lebih
ketinggalan zaman darinya tidak mampu protes.
Sayang sekali kondisi “wajar-wajar” saja yang selama
ini berlangsung tidak bertahan lama. Aku mulai merasakan kejanggalan. Suatu
hari aku pernah kehilangan kartu ATM yang seharusnya aku simpan di dalam
dompet. Aku yakin benar telah mengembalikannya ke sana. Aku membongkar seluruh
isi kamarku untuk mencarinya tapi hasilnya nihil.
Aku sempat putus asa saat itu. Hanya saja aku sama
sekali tidak berpikir bahwa kartu itu tengah berada di tangan orang lain.
Terlebih di tangan orang yang sangat aku percayai. Aku meminta bantuan pada
beberapa penghuni asrama yang lain untuk menyerahkan kartu itu apabila salah
satu dari mereka menemukannya.
Beberapa hari kemudian aku mendapati kartu itu
berada di dalam dompetku seperti sedia kala. Apa itu tidak aneh?
Aku menganggap diriku terlalu ceroboh sehingga
melewatkan bagian-bagian kecil yang seharusnya aku periksa dengan sungguh-sungguh.
Meskipun aku merasa janggal, tidak sedikitpun terbersit dalam pikiranku bahwa
kartu ATMku telah dicuri sampai aku memeriksa rekeningku sendiri di suatu sore.
Tabunganku berkurang 1,2 juta rupiah.
Mataku terbelalak. Apa tidak salah? Tidak mungkin pemotongan
biaya administrasi bisa sebanyak ini. Pasti ada yang salah. Pikiran-pikiran
buruk mulai berlalu-lalang di kepalaku. Seseorang telah mencuri dan kemungkinan
yang terbesar adalah,
Vana.
Ia mengetahui nomor pin rekening bankku sehingga ia
orang pertama yang mungkin mencuri adalah dirinya. Tapi, aku mempercayainya.
Apakah ia akan setega itu padaku?
Aku sedang duduk-duduk di ruang makan malam harinya
ketika beberapa kawanku datang. Mereka mengambil kursi, duduk di sebelah dan
depanku lalu mematikan televisi. Raut wajah mereka sangat serius dan tegang.
Saat itulah aku sadar, sesuatu yang tidak beres tengah terjadi.
“Kami memergoki Vana di kamarmu dua hari yang lalu.
Sepertinya ia terkejut dan ketakutan.” Ujarnya pelan, nyaris berbisik. Saat
malam Minggu kebanyakan penghuni asrama akan menghabiskan waktu di luar. Asrama
jadi sepi, sehingga bisikan selembut apapun akan menggema ke seluruh sudut
ruang makan. Ia menghentikan perkataannya sebentar. Tampak menimbang-nimbang,
lalu melanjutkan.
“Ia sedang meletakkan sesuatu di rak bawah tempat
tidurmu. Aku curiga,” ia menghela napas.
Sementara di lain pihak, napasku tercekat. Aku bersiap akan skenario terburuk
yang mungkin aku dengar, “ia yang mengambil kartu ATMmu, Meita.” Ia mendesah di
ujung kalimat, lega karena sukses menyampaikannya padaku.
Tenggorokanku terasa kering, pikiranku kosong.
Ternyata benar, ya? Dia yang mencurinya?
“Apa kamu kehilangan, Mei? Uangmu,” Ia bertanya
dengan hati-hati. Aku ingin menjawab, tapi aku rasa, ia sudah cukup paham hanya
dengan melihat raut wajahku saja.
“Aku sudah laporkan hal ini ke Suster,” sahut
temanku yang lain. Kepalaku terlalu kosong untuk berpikir. Jangankan berpikir
untuk menyelamatkan Vana, rasa sakit karena telah ditipu benar-benar membuat
hatiku mencelos.
“Aku juga sudah sangat curiga karena dia membeli
sepatu dan tas baru. Kalian tahu? Harganya mahal sekali! Bisa-bisanya ya dia
mencuri untuk membeli sepasang sepatu dan tas? Benar-benar tidak tahu malu!”
Tambah temanku yang lain lagi. Sementara mereka bergunjing, aku melangkahkan
kaki ke kamar. Menenggelamkan wajahku di bantal, menangis sejadi-jadinya.
Mendadak diadakan pendalaman Kitab Suci di kapel
asrama. Berdoa seperti biasa, membaca Kitab Suci, lalu mendengarkan khotbah.
Aku tahu teman-teman telah melaporkan hal ini, sehingga ketika Suster
mengatakan akan membahas sesuatu yang sangat penting dan krusial, aku merasakan
jantungku berdegup lebih cepat.
Pembicaraan dimulai dengan ceramah yang biasa
membuat kami jenuh. Berlanjut ke masalah pencurian buku, yang membuatku
berpikir, ternyata ada orang lain yang kehilangan barang karena pencurian.
Kemudian berlanjut ke masalah kehilangan uang yang aku alami.
Suster mengatakan dengan tegas pada si pencuri –yang
tidak Suster sebutkan namanya- untuk segera mengaku.
“Kalau memang kamu merasa malu, silakan kirimkan
surat ke kamar saya. Saya tidak akan membocorkan hal ini pada siapapun.” Tambah
Suster.
Selama beberapa minggu, tidak ada yang mengaku. Setiap
minggu, Suster selalu meminta—atau lebih tepatnya mengancam- si pencuri untuk
mengaku. Tapi hasilnya tetap nihil, tidak ada seorangpun yang datang untuk
mengaku.
Suster mengatakannya padaku di suatu sore, sepulang
sekolah, membahas mengenai kehilangan ini. Beliau mengatakan bahwa seharusnya
aku tidak mempercayakan nomor pinku kepada siapapun. Nasi telah menjadi bubur,
aku pun tidak akan sudi mempercayakannya pada siapapun jika tahu akan seperti
ini akhirnya.
Lalu sebuah pertemuan dadakan diadakan lagi di hari Sabtu
–yang seharusnya dijadikan Sabtu bebas- untuk membahas kehilangan ini untuk
yang kesekian kalinya.
Tapi pertemuan kali ini berbeda karena pencuri itu
telah mengaku. Ia mengaku melalui surat pribadi kepada Suster.
“Saya memang sudah menerima surat ini,” keluh Suster
garang. “Tapi saya sangat kecewa. Dalam surat ini pelakunya mengatakan bahwa
selama ini banyak kasus yang terjadi di asrama, tapi hanya kasus ini yang
diusut secara mendalam, sementara yang lainnya tidak. Lalu soal buku Anna yang
hilang, ia mengatakan kasus ini tidak diusut tuntas. Padahal saya sedang
mengusahakannya langsung bersama Anna dan Sofia. Saya yakin kedua kasus ini
sudah menyebar di kalangan kalian, termasuk nama si pelaku itu sendiri.
Sekarang saya tanya pada kalian semua, kasus apa saja dan pelaku dari kasus
mana yang telah kalian ketahui?” Tambah beliau.
Aku hanya terdiam, karena kali ini tidak hanya
masalah pencurian uang yang dibahas, namun juga masalah pencurian buku yang
sempat dibahas beberapa minggu sebelumnya. Aku hanya mampu mengamati mata
Suster yang menyala karena marah dan suara yang melengking tinggi. Ia
mengintrogasi satu persatu dari kami. Menanyakan apakah ada yang pernah
mendengar masalah pencurian uang dan buku selama di asrama. Sebagian besar
–bahkan nyaris semua- sudah tahu. Salah seorang yang menurut kabar burung adalah
si yang mengatakan tidak mengetahui mengenai
kehilangan buku yang dialami oleh Anna. Melihat wajahnya membuatku muak.
Benar-benar pembual besar!
Lalu tiba giliran Vana. Dengan santainya ia
mengatakan bahwa ia telah mengetahui si pencuri buku, sementara si pencuri uang
tidak ia ketahui. Rasanya seperti gumpalan benang menyumbat tenggorokanku.
Kepalaku mendidih, dadaku sesak. Aku kepalkan kedua tanganku secara tidak
kentara, menahan ledakan-ledakan besar yang membuncah dalam dadaku. Aku
membencinya! Dasar pembual besar! Berani-beraninya ia berkata tidak mengetahui
perihal kehilangan uangku sementara ialah pelakunya! Benar-benar tidak
bermoral!
Suasana kapel menjadi gaduh. Suster mengomel,
sementara para penghuni asrama saling berbisik heboh. Vana pun berbisik kesal,
menggunjingkan si pencuri buku tanpa sadar dirinya pun seorang pencuri tidak
tahu diri yang hanya bisa menyalahkan orang lain.
Suster mulai berang. Dengan suara melengkingnya yang
khas dan penekanan di kalimatnya yang terakhir, ia mengatakan, “Dengar, saya
sudah mengusut masalah ini, kan? Mengadakan pertemuan mendadak ini hari ini,
mengorbankan waku bebas teman-temanmu untuk keluar karena tingkah burukmu. Jadi
jangan katakan saya tidak pernah mengusutnya, Vana!”
Mendadak hening. Semua bisikan yang sedari tadi
menghujam liang telingaku tanpa ampun mendadak hilang tersapu angin. Tinggal
orkes jangkrik berkumandang dari balik jendela. Suster pasti kelepasan menyebut
namanya karena terbawa emosi. Kini, semua penghuni asrama tahu bahwa ialah
pencurinya.
Aku lihat matanya terbelalak. Ia mungkin saja
terkejut sekaligus ketakutan, tapi tidak ada yang berani menatap wajahnya
secara terang-terangan. Mereka hanya mencuri pandang ke arahnya dari belakang
bahu teman di depannya atau melalui ekor mata. Suasana sunyi masih terasa. Kali
ini semuanya seakan tenggelam dalam asumsi masing-masing ketika Suster
melanjutkan khotbah seakan nama laknat itu tidak pernah beliau sebutkan.
Waktu menunjukkan
pukul sebelas lewat ketika pertemuan selesai. Aku melangkah keluar dari kapel
dengan perasaan campur aduk. Ah, aku tahu seharusnya aku tidak merasakan hal
ini, tapi ingin sekali aku menyumpahinya. Ingin sekali aku membuatnya merasakan
sakit yang aku rasakan karena telah dikhianati.
Waktu berjalan lambat dan ketika aku telah sampai di
kamarku sendiri, lagi-lagi aku menengelamkan wajahku di bantal. Tapi kali ini
aku tidak menangis. Sama sekali tidak berniat untuk menangis. Aku hanya
menerawang di kegelapan malam, menyeringai.
Sejak hari itu aku putuskan untuk tidak mempercayai siapapun lagi.
0 comments: