Kriiinggg Kriiinnggg Kringggg....!!!!!!!!!!
“Ayo
bangun semua! Tidak ada malas-malasan hari ini! Satu, Dua...”
Ardisia
Crenata Pradita, seorang anak biasa. Tidak ada yang spesial dalam dirinya.
Dengan langkah sempoyongan, dengan segera ,Dita, begitu ia akrab disapa,
berjalan menuju ke kamar mandi nomor 13, tepat di ujung lorong gedung B Panti
Asuhan St.Laurentia.
“Memang
kamu yakin, ujian kali ini dapat bagus? Aku gak yakin!” Kata Karina dengan nada
sinis Karina adalah salah seorang anak panti lain, yang selalu iri dengan
kemampuan Dita sehingga mendapat beasiswa di SMP Taruna Kasih, sekolah yang
cukup terpandang di kota itu.
Dengan wajah lemas Dita memalingkan wajahnya dari pandangan
Karina.
Dita berlari secepat mungkin menuju
sekolahnya yang berjarak lebih dari dua kilometer dari panti. Entah mengapa,
hari ini dadanya sesak sekali. Dan jantungnya berpacu begitu cepatnya,
sampai-sampai Dita tidak dapat
mendengarkan suara yang lain, selain suara detak jantungnya.
Dita berlari melewati sederetan
mobil-mobil mewah yang mengkilap, tidak ada seorangpun di sekolah itu yang
harus berlari dibawah teriknya matahari setiap harinya seperti Dita. Mereka
tinggal duduk manis di dalam mobil, sementara menunggu mereka sampai di
sekolah.
“Liat deh siapa yang berlari ke sekolah
lagi!” Sindir Aldi sambil tertawa meremehkan Dita.
“Ishh, kamu tuh apa-apaan sih!” Reta
datang dengan tiba-tiba lalu mendorong bahu kanan Aldi.
Aldi menyipukan bahunya dengan jijik
sambil mengomel.
“Kamu mau apa? Mau aku keluarkan jurus
karateku? Aku ini baru naik sabuk biru, jadi jangan macam-macam denganku!”
Ancam Reta sambil memasang kuda-kudanya.
“ Sudahlah, Va. Gak usah cari keributan
sama dia!” Dita berkata dengan lembut sambil menarik pergelangan tangan Reta
untuk naik ke kelas mereka.
“Kok
kamu mau-mau nya sih digituin sama Aldi, Dit? Ya ampun.”
“Males cari masalah
sama dia.” Dita berkata sangat pelan dengan nada yang lemas.
Reta menghentikan
langkahnya tepat di depan kelas 1F, lalu menghentikan Dita.
“Are you okay?” Reta memandangi tubuh Dita, dari ujung kaki, hingga
ke ujung rambutnya.
“What do you mean? I’m fine, of course.”
“Kamu itu sakit, Dita.
Aku tahu itu!”
“Aku baik-baik sa..”
Darah mulai mengalir dari kedua lubang hidungnya, lalu tubuhnya jatuh dan
kepalanya tepat membentur lantai.
Dita tidak sadarkan diri. Dengan panik, Reta
menelpon supir pribadinya untuk segera datang. Beberapa orang yang berada di
sekitar mereka waktu itu berusaha mengangkat tubuh Dita lalu membawanya ke
dalam mobil milik Reta.
“Bertahanlah, Dita.” Air mata mulai
membasahi pipi Reta, sementara ia memangku kepala sahabatnya yang terbaring
lemas.
-**-
“Leukimia.”
“Leukimia? Bagaimana bisa, dok? itu
tidak masuk akal! Ia selalu kelihatan baik-baik saja, dan sekarang dokter
mengatakan bahwa dia mengidap leukimia? Dokter kira saya akan mempercayai
lelucon konyol macam itu!” Reta mendadak sangat marah. Nada bicaranya mulai
meninggi. Perasaannya mulai campur aduk, antara marah, cemas, dan tidak
percaya.
“Memang gejala leukimia tidak terlalu terlihat
pada awalnya. Dilihat dari kondisinya saat ini, kemungkinan tahap penyakitnya
mulai memasuki stadium tiga, dan..”
“Dan apa dok?”
“Umurnya tak akan lama lagi”
Dita mendengar seluruh percakapan antara
Reta dengan dokter tersebut. Hatinya sangat hancur, mendengar diagnosa yang
memang kedengarannya sangat konyol, namun yang paling menyakitkan, benar –benar
terjadi.
“Berapa lama lagi, Dokter?” Dita
mendengus pelan dangan wajah yang begitu
pucat, nampak persis seperti ricotta.
Reta menghentikan tangisannya, mengusap
air matanya lalu memalingkan wajahnya ke arah Dita.
“Tidak, kamu akan hidup. Harus! Kamu
harus hidup!” Reta tidak dapat menahan tangisannya, lalu air mata mulai jatuh
lagi di kedua pelupuk matanya.
“Delapan bulan tanpa pengobatan”
“Tidak dokter, dokter harus memberikan
perawatan terbaik untuknya!” Air mata semakin membanjiri wajah Reta. Tangannya
mulai gemetaran, dan suaranya mulai melirih.
“Aku akan mengikuti ujian nasional tiga
bulan lagi. Setelahnya, apapun yang akan terjadi, aku..”
Reta mengatupkan mulut Dita dengan jari
telunjuknya, memeluknya dengan erat, dan berbisik ke telinganya, “Apapun itu,” Reta
menarik nafas panjang, “ aku akan selalu ada di sini, tepat di sampingmu,
Dita.”
-**-
Kringgg Kringg Kringg Kringgg..
“Udah
siap buat lusa? Tidak terasa ya, sebentar lagi kita akan ujian, lulus, lalu
masuk SMA deh. Ya kan?” Reta memandangi wajah Dita dengan matanya yang berbinar
dan senyumannya yang merekah.
“Well, that’s for you, Reta, not me. Aku
gak yakin bisa masuk SMA, sama sepertimu.”
Kata Dita sambil mengurai rambutnya, lalu memandangi gumpalan rambut
yang rontok di telapak tangannya.
“Kamu ini ngomong apa sih? Kita pasti
bisa SMA sama-sama, kamu pasti dapat beasiswa lagi, di sini, sama aku,” Reta
berusaha membendung air matanya, “kamu harus berjanji padaku.” Ia hanya dapat
tersenyum memandangi wajah sahabatnya itu.
“Ya, aku janji, Reta.”
Darah mulai mengucur lagi sari
hidungnya, dan wajahnya mulai pucat seperti biasanya.
“ Saputanganku, dimana saputanganku?”
Dita mencari-cari saputangan di kantung roknya.
“Pakai ini. Tidak perlu kamu
kembalikan.” Aldi mengulurkan saputangan di depan wajah Dita.
Dengan segera Reta mengambil saputangan
di tangan Aldi dan mengusap darah dari hidung Dita, Tepat sebelum darah itu
mengotori seragam Dita.
“Kesambet apa kamu, Di, tumben-tumbenan
kamu baik sama Dita, biasanya..”
“Dih, ni anak, ngejek salah, bantu juga
salah, maumu tuh apaan sih?” Aldi memotong perkataan Reta lalu memalingkan
wajahnya.
“Gapapa. Makasih ya, Di.”
“Ya. sama-sama.” Aldi tersenyum lalu
berlari ke dalam kelas.
-**-
Dengan waktu-waktu tersisa yang ia
miliki, Dita berjuang sekuat yang ia bisa. Ia belajar setiap hari hingga larut
malam. Ia menjalani seluruh pengobatan yang harus ia jalani. Ia berusaha untuk
tidak mengeluh. Kadangkala, Ia harus mendapat banyak tambahan darah karena
terlalu sering mimisan. Dita sudah mencoba mempertimbangkan donor sumsum tulang
belakang. Banyak orang , termasuk Reta dan Perawat di Panti asuhan tempat ia
tinggal bersedia mendononorkan darah baginya. Namun dari semuanya itu, tidak
ada seorang pun yang sumsum tulang belakangnya cocok. Ia tidak pernah memiliki
keluarga yang ia ketahui. Ia hanya hidup sebatang kara. Bagaimana seseorang
yang tidak memiliki keluarga bisa mendapat donor sumsum tulang belakang dari
DNA yang sama?
Rasa sakit yang harus ia derita memang
menyita seluruh perhatiannya. Setiap malam ia tidak bisa tidur. Tubuhnya akan
mulai kejang dan sakit luar biasa. Setiap ia menyisir rambutnya, tak terhitung
berapa banyak rambut yang rontok, hingga akhirnya ia tidak pernah menyisir
rambutnya lagi.
Setiap malam ia berdoa, berdoa ,dan
berdoa. Ia mengumpulkan setiap tenaga yang mesih tersisa darinya. Ia belajar,
belajar, dan belajar lagi. Ia nyaris tak pernah melakukan aktifitas yan lain
selain belajar.
‘Aku
tak akan kalah dari penyakitku, sekalipun aku tetap harus pergi, aku akan
berjuang sekali lagi. Takkan kubiarkan hidupku berakhir begitu saja.’
Hari penentuan pun tiba. Dengan tubuh
yang lemas, Dita memijakkan kakinya di ruang 8. Tempat duduknya berada di pojok
kiri kelas, tepat di sisi kanan pintu kelas. Selama 4 hari Dita mengabaikan
penyakitnya demi bergelut dengan soal-soal yang telah dipersiapkannya selama 3
tahun penuh. Bukanlah suatu hal yang sulit mengerjakan soal-soal semacam itu.
Hanya saja, tubuhnya yang lemas kadang membuatnya agak kesulitan berfikir,
terlebih rasa sakit yang harus dideritanya, menambah beban yang harus ditanggungnya.
Hari ini, pertanda tanggal 28 April,
Hari ini aku merasakan bagaimana bahagianya seorang dengan penyakit
kronik sepertiku masih dapat melewati ujian ini, yang mungkin akan menjadi
ujian terakhirku. Aku takut, sangat takut, mungkinkah apa yang aku ingingkan
selama ini hanya akan menjadi mimpi. Aku mau hidup Tuhan, aku mau. Aku tidak
mau pergi secepat ini. Izinkanlah aku untuk berjuang sekali lagi, tolong
berikan aku kesempatan terakhir sebelum akupergi ke tempat di mana aku tidak
akan mungkin kembali....
Setetes
cairan berwarna merah jatuh ke atas tulisan terakhir yang ia buat. Dengan
cepat, Dita mengusap hidungnya . Tapi kali ini tidak biasa. Darah dari
hidungnya terus menerus mengalir, tanpa berhenti. Tubuhnya mulai lemas, sangat
lemas.
Dita berlari secepat mungkin ke rumah
sakit sambil membawa buku hariannya. Namun tubuhnya tidak kuat lagi. Terlalu
banyak darah yang dikeluarkannya, hingga akhirnya pun ia terjatuh dan tergulai
lemas di tengah jalan menuju ke rumah sakit. Sementara darah terus mengucur
dari hidungnya, ia masih menggenggam erat buku catatannya yang telah berlumuran
darah.
‘Aku masih berjuang sekalipun aku akan pergi juga’ Ujarnya dalam hati.
Seseorang yang lewat di situ, mengangkat
tubuh Dita dan membawanya ke rumah sakit. Tiga ampul darah di habiskan unutk
menggantikan darah yang mesih terus mengalir dari kedua lubang hidungnya.
Hidupnya sudah berada di ujung tanduk, dan semua orang tahu itu. Namun tidak
baginya. Hidupnya masih panjang, sangat panjang, seperti langkah yang telah di
ukirnya selama ini.
Darah mulai berhenti mengucur dari kedua
hidungnya. Ia mulai membuka matanya. Pandangannya samar-samar, namun ia dapat
melihat teman-temannya di situ. Bahkan Karina yang selalu mengejeknya setiap
hari, ikut menangis di sebelah kanan Dita.
“Aku mau hidup, aku mau tahu hasil
ujianku kemarin. Apa aku akan lulus?” Dita mendesah perlahan dengan
terbata-bata.
“Ya, kau akan lulus, Dita, pasti. Aku yakin! Anak sepandai dirimu pasti lulus
dengan nilai terbaik!” Reta menggenggam erat tangan Dita. Ia menangis histeris,
hingga jatuh pingsan. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu pun turut
menangis sejadi-jadinya.
“Ya. Kalau begitu, aku akan tenang
sekarang. Aku tidak akan cemas lagi akan hasil yang mungkin kuraih.”
Kepala Dita terasa sangat sakit. Benar-benar
sakit. Genggaman tangannya merenggang. Ia menjatuhkan buku hariannya tepat di
sisi kanan ranjang tempat ia berbaring. Dengan separuh tenaga yang tersisa,
Dita menutup matanya. Jantungnya mulai berdetak pelan, nafasnya tersengal-sengal
dan.. berhenti. Setelah pergulatan terakhirnya, akhirnya ia pun pergi. Ia pergi
meninggalkan semuanya, seperti apa yang pernah dituliskannya.
‘Ini
hari terakhirku. Hari dimana aku mengakhiri seluruh pergulatan hidupku. Aku
tidak perlu cemas. Aku tidak akan merasa sakit atau menderita lagi. Sekarang,
aku hanya harus berjalan, ke tempat dimana aku takkan pernah kembali..’
-**-
Reta membaca deretan siswa-siswi yang
lulus pada angkatan kali ini.
“Duh, mana sih Margareta Diana Putri?”
Reta mencari namanya, mulai dari urutan terakhir nomor 219.
“56, 54, 53, 52, nah, ini dia! Urutan
51! Akhirnya aku lulus juga! Thank’s God!”
Reta bersorak kegirangan. Wajahnya berbinar bahagia. Tapi, ia merasa ada
sesuatu yang kurang. Ia mulai mencari nama yang lain mulai dari namanya di
urutan ke 51.
Jarinya berhenti tepat di urutan
pertama. Matanya berkaca-kaca lalu mulai menitikkan air mata. Sejenak, sebuah
senyuman tergambar jelas di wajahnya.
“Kamu berhasil, Dita. Kamu bisa tenang
mulai sekarang.” Bisiknya pelan.
Tidak ada cap jari ataupun tanda tangan
yang tertoreh di atas ijasah milik Dita. Hanya terpajang sebuah foto hitam
putih ukuran 3x4 yang menjadi foto terakhirnya, dan nama bertuliskan “Ardisia
Crenata Pradita” sebagai penanda seluruh perjuangnya tidaklah sia-sia.
.
.
.
.
Selesai
0 comments: